menu melayang

23 Oktober 2004

Aku Benci Kamu

 Jam kuliahku begitu padat! Gerah aku dengan semua ini. Praktikum, tugas, quiz, seakan tiada akhir

 Ah, begitu penat hidupku hari ini, dan selalu begitu.

Dengan 5 buku tebal didalam tas punggungku, terasa langkah kaki ini semakin berat. Asap polusi seakan membuatku ingin berteriak namun sesak. Ribuan pasang kaki yang melangkah disekelilingku terasa berbeda dari biasanya. Aku sedikit mengeluh melihat langit yang mulai mendung sore ini sambil mempercepat langkahku. Tas punggungku terasa semakin berat dengan buku-buku itu didalamnya.

Sial! Akhirnya aku kalah juga dengan waktu. Hujan turun. Orang-orang disekelilingku berlarian mencari tempat berteduh, atau sedikit menghindar dari guyuran hujan sore ini.

Ditengah keramaian manusia, tiba-tiba aku melihat sebuah wajah yang pernah sangat kukenal. Aku mengernyitkan dahiku. Dhillah! Aku masih mengingat nama dari pemilik wajah itu. Langkah kaki yang hendak berlari ini menjadi kaku. Dalam guyuran air hujan aku terpaku menatap wajah itu, lalu tak lama wajah itupun lenyap dalam keramaian manusia yang saling berlari menghindari deras air hujan.

Aku tetap terpaku seorang diri ditengah hujan. Tak peduli seluruh pakaian, bahkan buku-buku dalam tasku menjadi basah. Yang kurasakan hanyalah sakit, ya, sakit. Begitu tersayatnya hati ini! Tubuhku seperti beku dalam terpaan hujan.

Betapa kecewanya aku sore ini. Usaha yang sangat lama dan begitu sulit untuk melupakannya menjadi sia-sia. Ya, hanya karena meihat wajah yang hanya selintas saja!

Dhillah, betapa teganya kau menyakiti hati kembali! Lebih sakit dari sebelumnya! Lama aku berjuang hanya untuk membuang ingatan dalam diriku akan dirimu. Tapi, dengan begitu mudahnya engkau mengembalikan segalanya, menarik kembali semua ingatan yang telah lama kubuang!

Dengan sulit aku melupakanmu, bahkan hampir tak mampu! Dengan sangat sulit kurobek semuanya tentangmu, kuhancurkan hingga berkeping-keping, lalu kubiang tanpa sisa ke deras air sungai, hingga terus terbawa ke laut lepas dan terapung-apung diatasnya, hingga tiada lagi seorangpun yang menemukannya.

Sial! Setelah bertahun-tahun, rupanya matahari telah menguapkan air laut, dan kau terbawa bersama uap itu hingga mengapung dan membeku diatas langit dalam wujud awan mendung. Dan, kini awan mendung itu telah membasahi seluruh tubuhku, dan kau lagi-lagi hadir dihadapanku.


Sementara hujan telah reda, langit kembali cerah, orang-orang kembali dengan tenang berlalu lalang, dan kau telah lenyap ditelan keramaian, aku masih terpaku dengan pakaian yang basah dan dengan semua ingatan yang kembali. Teganya kau! Aku benci kamu!


Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel