Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya melihatnya ketika Baturetno sedang basah dengan air hujan. Malam yang berkabut ketika itu, dan ia mengetuk pintu perlahan, “Assalamu’alaikum…!”
Cakep, saya pikir. Jauh nilainya di atas perkiraan saya sebelumnya ketika Bapak mengatakan akan ada penghuni baru di rumah ini. Kalau Gunawan yang bintang sinetron itu saya beri nilai sepuluh, maka tentu ia akan saya beri nilai dua belas.
“Saya Dha, dari Tawangsari.” Kenalnya pada Bapak sambil menarik ujung-ujung bibirnya ke atas, membentuk senyuman. Saya pikir Bapak sudah tahu tentang itu, dan semuanya sekedar basa-basi. Bahwa akan ada orang yang ngekost di salah satu kamar di rumah ini. Seorang guru privat komputer.
Dan tiba-tiba saja saya ingin mengenalkan diri pada makhluk indah itu. “Saya Re, anak bungsu Bapak.” Tangan saya terulur. Saya sangat berharap dia akan menyambut, dan berlanjut dengan pandangan-pandangan… namun ternyata tangan itu mengayun lembut dan bertemu masing-masing tapak tangannya di depan dadanya sendiri.
“Oh, senang sekali bisa berkenalan langsung dengan putri Pak Sadar.”
Tangan saya menggantung, membuat wajah saya merah jambu. Ketus, batin saya.
Itu kesan pertama kali, namun segera terusir setelah saya mengenal Mas Dha. Umurnya sekitar jigo. Belum tua benar untuk saya kenalkan dengan teman-teman saya di sekolah. Dan karena itu saya suka mencari-cari alasan agar Mas Dha bersedia ke sekolah saya. Kadang-kadang dengan alasan sakit, minta dijemput, atau rapat wali murid, atau.. ah, kemudian Mas Dha banyak membimbing saya dalam belajar, banyak mengerti problem-problem saya, dan bahkan terkesan saya sangat manja kepadanya.
“Mas sudah punya pacar?” tanya saya nekad. Bloon kalau saya menganggap Mas Dha pacar saya, karena kendati dekat, Mas Dha tak pernah memandang saya, apalagi menyentuh saya. Saya bahkan belum berhasil menjabat tangannya, padahal saya ingin.
Kenekadan itu karena saya tertarik padanya. Dan dengan sabar saya mengembarakan perasaan saya untuk kemudian saya sampai pada satu kesimpulan, saya mencintainya. Saya menyukai setiap yang disukainya.
Bahkan lucu sekali ketika Mas Dha mengatakan kurang suka dengan pakaian warna merah menyala, saya ikut-ikutan memberantas pakaian saya yang mengandung warna itu, hingga betul-betul habis. Dan sebagai gantinya saya ganti kepada warna krem dan coklat susu kesenangan Mas Dha. Mas nggak suka sinetron, dan itu membuat saya memiliki banyak waktu untuk belajar yang dulu tersita habis untuk nonton TV.
Suatu ketika saya ditegur Mas Dha, ketika saya bangun lewat jam setengah enam. “Udah Shubuh belum?” Busyeeet! Apa Mas nggak tahu kalau saya tidak pernah sholat seperti kebanyakan teman-teman saya? Namun barulah saya perhatikan Mas Dha sangat memperhatikan sholatnya. Saya seorang Islam, namun saya pikir, saya belum menjadi pemeluknya selama ini. Namun tak apalah, saya memulai sekarang karena saya lihat Mas Dha bangga dengan Islamnya. Saya pun harus bangga, kan? Saya pun mulai sholat. Menjemukan pertamanya. Namun pada akhirnya menjadi semacam kebutuhan dan menuntut untuk saya penuhi setiap waktu-waktunya.
Bapak membiarkan saja tingkah laku saya, dan saya yakin beliau mengerti apa yang tengah hidup dalam hati anaknya. ia membiarkan saja saya meniru-niru Mas Dha sebagaimana saya dibiarkan tidak sholat selama ini.
Satu hal yang saya kagumi, Mas Dha sangat dekat dengan Bapak. Kedekatan yang melebihi kedekatan Bapak dengan Mas Mus, kakak laki-laki saya yang sekarang menjadi marinir dan sangat jarang pulang.
“Dha itu ngajeni wong tuwo. Tahu unggah-ungguh,” puji Bapak di depan saya tanpa sepengetahuan Mas Dha, dan itu ikut membuat saya kembang kempis. “Betapa senangnya Bapak punya anak seperti Dha,” lanjut Bapak. Anak? pikir saya. Menantu gitu… 🙂
Suatu ketika Mas Dha pulang agak lama ke Tawangsari, negeri asalnya. Secara geografis, dengan Baturetno tidak jauh. Namun jalur transportasi seperti terputus oleh banyaknya pegunungan sehingga jalanan tak begitu nyaman. Maka untuk mencapai Tawangsari dengan angkutan umum, harus memutar lagi lwar Wonogiri, dan Sukoharjo yang di sebelh ujungnya terletak Tawangsari. Jauh. Satu minggu dihabiskan Mas Dha di sana, dan itu membuat saya kehilangan gairah. Saya menunggu mudah-mudahan Mas Dha kangen dengan saya dan pulang ke Baturetno lebih awal dari rencananya.
Tapi apa Mas Dha kangen dengan saya, ya? Namun saya lebih dulu menyimpulkan bahwa saya sangat mencintai Mas Dha. Karena itu saya nekad mengemukakan ini pada Mas. Tunggu saja nanti…
Namun mata itu menatap kejauhan dan bibirnya tersenyum. Apakah lucu keterusterangan saya? Saya pikir Mas Dha menertawakan saya. Dan karena itu membuat saya sangat sedih. “Mas jahat pada Re… !”
“Bukan begitu, Re.”
“Kenapa Mas menertawakan saya?”
“Mas tidak menertawakanmu. Mas hanya sibuk memilih kalimat jawaban yang terbaik untuk Mas, dan untuk Re.”
“Mas tidak suka?”
“Yang Re inginkan bagaimana?”
Sebodo amat. Saya kadung bicara, dan rasanya tak perlu basa-basi lagi. “Saya pengin Mas Dha jadi pacar saya.”
“Re udah pingin nikah?”
Ini lagi. Kenapa error? “Siapa pingin nikah? Saya hanya ingin Mas jadi pacar saya.”
“Pacaran itu.. bla.. bla.. bla..”
Ya ampun, kenapa mesti kembali ke jaman meganthropus semacam ini pemikirannya? Namun saya rasa, ada baiknya saya menyimak pembicaraan Mas Dha tentang pacaran yang haram itu. Pergaulan yang bebas itu. Konsep menundukkan pandangan itu. Tata pergaulan yang Islami itu.
Dan saya betul-betul menyimaknya. Heran, saya pikir. Semua sudah pernah saya dengarkan, baik di ta’lim-ta’lim, baca buku, atau lewat buletin yang sering disodorkan Maya teman sekolahku itu. Namun baru kali ini saya menyimaknya dengan sungguh-sungguh sehingga barulah saya mengerti.
Pagi berikutnya Mas Dha pulang lagi. Tidak pamit pada saya. Saya yakin Mas Dha marah pada saya karena pada malam harinya saya mencoba ketus padanya. Saya ingin tunjukkan pada Mas bahwa saya memiliki keberanian melawan perkataan Mas Dha.
Ketika itu Mas mengatakan pada saya bahwa saya harus Islam. Saya kan sudah Islam. Saya tunjukkan kartu pelajar saya, dan saya tegaskan pada Mas, data kualifikasi saya pada option agama terdiri dari lima huruf, agar jelas saya eja sekalian: I-es-el-a-em. Dan sampai dimanapun, itu akan dibaca Islam, Mas Dha malah tersenyum. “Islam dalam arti kata sesungguhnya.”
“Yang bagaimana?”
“Menyerahkan diri kita sepenuhnya dalam beragama, dan rela hidup kita diatur oleh Allah.”
Mas Dha membaca sebuah hadits tentang Asma’ bahwa seorang wanita yang telah datang haidnya, hendaklah menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Saya paham kala Mas meninta saya memakai jilbab. Seperti Maya, mungkin. Ah, mana mungkin? Bagaimana dengan rambutku yang menurut teman-teman indah? Bagaimana dengan kaos dan bajuku yang ketat itu? Suliiiitt…
Saya tinggalkan Mas Dha yang terpukau dengan makian saya. Saya lebih suka tenggelam di kamar memeluk bantal. Dan hari itulah saya menangis sejadi-jadinya. Mas Dha jelek.
Dan kepergian kali ini membuat saya sepi. Sepi yang sangat berlipat dari sepi biasa. Saya merajuk, ternya Mas mebalas dengan kemarahan yang sama sampai meninggalkan rumah ini. Padahal saya kan berhak merajuk. Saya kan bungsu, yee…
Sepi itu membawa saya ke ruang belajar. Kamar yang tak begitu luas, membuat Bapak membuat ruang khusus untuk belajar para penghuni kost. Mata saya menumbuk ke meja sudut di mana rak buku Mas Dha tertata rapi. Tiba-tiba saya ingin meraihnya. Saya sangat takut kehilangan Mas. Saya kembali menangis sedih.
Maka di sanalah saya temukan tulisan singkat Mas Dha “Kenapa harus Mas, Re? Re harus yakin dengan skenario Allah. Re harus ikhlas dengan ketentuan Allah, karena Dialah cinta sejati itu. Selain itu semu belaka.”
Saya mencoba menerjemahkan kalimat Mas Dha. Kenapa saya tak mengambil cinta yang sejati saja? Kenapa saya tak mencoba mencintai Allah yang jelas tak akan sirna. Dia akan selalu membalas cinta kita dengan berlipat ganda. Dan.. saya semakin menangis. Hik.. hik.. hik..
Malam yang merambat dingin. Dan saya tahu dalam kesunyian yang semacam ini, Mas Dha sering bangun pelan-pelan. Mengambil air wudhlu dan sholat tahajjud di Mushola. Saya mencari tahu dan seperti saya katakan, sekarang saya menjadi sangat bersemangat untuk mencari tahu. Dan betapa berharganya sepertiga malam yang terakhir ini.
Allah…
Saya telah memutuskan untuk melepas segala ikatan cinta yang membelenggu jiwa sehingga hanya Engkau yang bertahta di jiwa saya. Saya akan selalu takut kehilangan Mas Dha jika saya meletakkan cinta saya pada Mas Dha. Saya takin karena tak ada yang akan lepas dari satu ikatan, yakni mati. Lalu saya bergidik mengingat maut.
Saya telah putuskan untuk bersabar melayarkan rindu saya di sepertiga malam terakhirMu yang saya eja, mencoba saya eja. Nikmaat sekali…
Sedangkan ini entah malam yang keberapa. Saya tak lagi menghitung hari seperti waktu lewat. Saya mencoba tak mengharapkan Mas Dha lagi, kendati kadang-kadang masih juga ingin. Saya telah mintakan padaMu ya Kekasih, Cintaku. Agar jangan Kau hadirkan dia lagi jika itu tak baik buat saya. Atau hadirkan segera jika memang Kau pandang baik untuk saya.
Selamat malam, Cinta.. Ini entah malam yang keberapa. Saya telah mengambil satu langkah, semoga dalam ridhaMu.
Agak aneh, karena di meja depan saya melihat terang lampu yang tak biasanya pada malam-malam begini. Ada ucapan-ucapan lirih yang sesayup sampai. Saya tergoda untuk mendekat.
“Jadi kamu akan segera menikah?” tanya Bapak kepada… Ya Rabb.. saya segera mengenali suara Mas Dha.
“Betul, Pak. Ingin sebenarnya seperti niat Bapak untuk mengeratkan hubungan kekeluargaan ini dengan menikahi putri Bapak. Tapi saya memutuskan untuk menikah sekarang. Saya membutuhkan pendamping segera, dan itu kecil kemungkinan karena Re masih sekolah.”
Alasan yang diplomatis saya rasa. Dan tiba-tiba saya berdebar. Jadi Bapak punya rencana ini sebelumnya? Oh, Bapakku..
“Tidak apa-apa, Dha. Hanya mungkin Bapak harus menyimpan keinginan Bapak untuk memiliki anak sepertimu.”
Getir suara Bapak. Mungkin segetir perasaan saya. Tentu Mas Dha telah memiliki pilihan yang lebih baik dari saya. Seorang muslimah yang tawadhu’ dan penuh pengabdian.
“Bapak..! Saya tentu anak Bapak. Anggaplah saya sebagai anak, dan seterusnya semacam itu, karena saya juga menganggap Bapak sebagai Bapak saya sendiri.”
Saya kuatkan hati saya. Malam ini saya mulai kenakan baju taqwa saya. Saya memutuskan memakainya lewat pemikiran panjang. Dan itu saya laksanakan akhirnya malam ini. Saya malu-malu melangkah menemui Mas. Dan anggaplah saya tetap sebagai adikmu, Mas.
Sungguh..! Saya ingin membuktikan bahwa cinta saya tertuju lurus untuk Allah saja.
Buat semua yang sedang dilanda asmara, kamu masih merasa diawasi Allah, kan?
Oleh:Sakti Wibowo
salam kenal dari saya.
Hehehe
aduh..cerpennya sedikit menohok neh..
kena banget..(*_*)