Oleh : Erros
Wajah asli peradaban Barat merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meski Barat telah sekular-liberal, sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai.
Ada buku menarik yang perlu anda baca minggu-minggu ini. Buku itu berjudul, “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Liberalisme-Sekularisme”, karya saudara Adian Husaini. Setidaknya, ini adalah buku penting yang bisa anda jadikan pegangan untuk melihat wajah asli Barat beserta ‘copy-paste’ nya sekarang ini.
Sebagaimana bisa disimak dalam buku ini, peradaban Barat sejatinya merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme Eropa.? Meskipun Barat telah menjadi sekular-liberal, namun sentimen-sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai kehidupan mereka. Jika dalam masa
kolonialisme klasik mereka mengusung jargon “Gold, Gospel, dan Glory”, maka di era modern, dalam beberapa hal, semboyan itu tidak berubah.
Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS terhadap Irak tahun 2003 dan dukungannya yang terus-menerus terhadap Israel, juga tidak terlepas dari unsur “Gold, Gospel, dan Glory”.
Meskipun berbeda dalam banyak hal, unsur-unsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu dengan kepentingan “misi Kristen”, atau “sentimen Kristen.”
Di masa klasik dulu, seorang misonaris legendaris Henry Martyn, menyatakan, “Saya datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Ia berpendapat, bahwa Perang Salib telah gagal.
Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia Islam, dia mengajukan resep: gunakan “kata, logika, dan cinta”. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan; dan kupikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tadinya ingin mereka rebut.”
Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor di “Church Missionary Society”, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull, kata Stock, adalah “misionaris pertama bahkan terhebat bagi kaum Mohammedans”.
Itulah resep Lull, Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata”, tetapi dengan “cinta kasih” dan doa.
Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim adalah satu keharusan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan. Dalam laporan tentang “Centenary Conference on the Protestant Missions of the weblog” di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr. George F. Post, “Kita harus menghadapi
Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini pertarungan hidup dan mati.”
Selanjutnya, dia berpidato: “..kita harus masuk ke Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus meng-Kristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gurun pasir mereka, dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang melahap ke-Kristenan kita dan menghancurkannya.
Ringkasnya, misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka akan mengganyang Kristen!”
Kekuatan “kata” yang dipadu dengan “kasih” seperti yang diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon, “orang Jawa” – sebagaimana huruf Jawa — akan mati jika “dipangku”.
Jika seseorang dibantu, dibiayai, diberi perhatian yang besar (kasih), maka hatinya akan luluh. Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak selalu.
Simaklah kasus Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid, bagaimana pemikiran dan keyakinan mereka berubah. Simaklah, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, bagaimana kekuatan ide “freedom” dan “liberalisme” mampu menggulung sebuah imperium besar bernama Turki Utsmani.
Ketika kaum Muslim tidak lagi memahami Islam dengan baik, tidak meyakini Islam, dan menderita penyakit mental minder terhadap peradaban Barat, maka yang terjadi kemudian adalah upaya imitasi terhadap apa saja yang dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan,
“Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa.
Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.”
Sekularisme dan liberalisme di Barat telah memukau banyak umat manusia. Gerakan pembebasan (Liberation movement) di berbagai dunia mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu “Revolusi Perancis” dan “kemerdekaan AS”. A New Encyclopedia of Freemasonry (1996), mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin adalah para aktivis Free Masonry.
Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide pokok Freemasonry adalah “Liberty, Equality, and Fraternity”.
Di bawah jargon inilah, jutaan orang “tertarik” untuk melakukan apa yang disebut sebagai “kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama”. Dalam Revolusi Perancis, jargon Freemasonry itu juga menjadi jargon resmi.
Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai “kekuatan tiran”. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, tampaknya, yang diposisikan sebagai “ecclesiastical tyranny” adalah “teks-teks Al-Quran dan Sunnah”, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka.
Perlu ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, guru dari Frithjof Schuon, (pelopor gagasan pluralisme), misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Abduh atau tafsir al-Manarnya Rasyid Ridla? Masih perlu diteliti. Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari “teks”, dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermenuetika yang banyak digunakan dalam tradisi Bible), dan sebagainya, cukup sering terungkap.
Kekuatan “kata” dan “kasih” terbukti ampuh dalam sejarah dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik, seperti “ortodoks”, “beku”, dan “berorientasi masa lalu”, “emosional”.
Sejarah menunjukkan, kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen Eropa, dan Zionis Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdulhamid II pada 1909, adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, pencitraan buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai “karya setan”. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah Saw beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: “Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada.”
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul “Did Muhammad Exist?” Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buatan belaka. Muhammad adalah “fiksi yang wajib” karena selalu ada asumsi “setiap agama harus mempunyai pendiri”. Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Quran.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah Saw dan al-Quran tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak D.B. MacDonald, Alfred
Gullimaune, Montgomery Watt, atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J. McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains, dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah “carbon copy” dari pemikiran Yunani.
Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Buku ini merupakan salah satu karya terbaik Adian Husaini. Studi Doktornya di ISTAC-IIUM, makin menambah kedalaman pemikiran Adian dalam membedah “kulit dan jeroan” Peradaban Barat. Tidak heran, bila buku dengan cover berwajah klasik ini, sarat dengan referensi-referensi ilmiah baik karya ilmuwan klasik maupun kontemporer.
Karena itu buku ini sangat layak dijadikan referensi dalam meneropong tingkah laku kebijakan dan politik Barat di dunia saat ini. Sehingga kita tidak terperosok jauh mengambil dan memuja Barat dalam segala hal.
Pemikiran Barat tentu tidak semuanya kita tolak mentah-mentah. Ada hal-hal yang baik, misalnya dalam hal sains dan teknologi, yang bisa kita ambil dari Barat.
Akhirnya kita ingat kata-kata Sayid Qutb adopsi pemikiran : “Dalam bidang ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berutang sebelum ia meninjau terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang tidak mencukupi. Demikian pula halnya dengan negara, suatu negara tidak boleh mengimpor barang dari negara lain sebelum ia meninjau kekayaan yang
dimilikinya, dan juga kemampuan yang ada padanya…
Becermin dari hal ini, kita bisa bertanya, ‘Tidakkah kekayaan jiwa, kekayaan pemikiran, dan kekayaan hati itu bisa dibangun, sebagaimana halnya dengan kekayaan material yang ada pada diri manusia?’
Pasti dapat! Apalagi kita yang berada di Mesir, dan yang berada di negara-negara Islam. Kekayaan dan modal semangat serta konsep kita belum akan ambruk sepanjang kita tidak berpikir untuk mengimpor prinsip-prinsip dan ideologi, serta meminjam sistem dan aturan dari negara-negara di balik awan dan di seberang lautan.”
Walhasil, pembahasan Barat oleh Adian dalam buku ini cukup lengkap, mulai dari siapa yang disebut Barat, pandangan Barat terhadap agama, perselingkuhan Barat dengan zionisme, pandangan Barat terhadap Islam-fundamenlisme–terorisme, benturan peradaban, invasi Barat dalam pemikiran Islam dan the end of the West. (ghazali nahdia izzadina/Hidayatullah).
RESENSI
Dari Peluncuran Buku ‘Wajah Peradaban Barat’: Invansi Barat Hancurkan Peradaban Islam
Setelah sekian lama Barat mencampakkan agama (Kristen-Katholik) jauh dari percaturan kehidupan (politik, sosial, budaya dan sebagainya), akhir-akhir ini Barat mulai ‘sadar’ atas kekeliruannya memeluk sekularisme dan liberalisme sebagai pedoman hidup mereka.
Menurut peneliti sosiologi politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Yudi Latif, arus balik ini ditandai dengan lahirnya gerakan-gerakan neofundamentalis dan neokonservatif di negara-negara Barat, seperi Jerman, Prancis, Belanda. Bahkan gejala ini juga marak di jantung peradaban Barat, Amerika Serikat (AS).
“Ada arus balik di Barat. Di AS ada trend desekularisasi. Mereka ingin kembali ke gereja,” ujar Yudi saat menjadi pembahas peluncuran buku karya kandidat doktor program Islamic Civilazation di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia
(ISTAC-IIUM) Adian Husaini yang berjudul “Wajah Peradaban Barat”, di Istora Senayan, Jakarta, Jum’at (1/7).
Tanda-tanda desekularisasi itu juga dapat dikenali dengan kemenangan-kemenangan partai-partai berbasis agama. Partai Kristen hampir menguasai negara-negara Eropa yang punya pengaruh kuat di Barat maupun di dunia internasional, sebut saja misalnya, Perancis, Jerman dan Italia.
Padahal, lanjut Pembantu Rektor III Universitas Paramadina itu, sejak abad XVIII sampai awal abad XXI, Barat dalam kungkungan hegemoni sekularisme dan liberalisme. Pada masa inilah Barat mengklaim diri sebagai sumber kehormatan dan kemajuan.
Dan pada saat itu pula umat Islam dipecah-pecah kekuatannya melalui mesin imperalisme dan kolonialisme Barat. “Mereka datang ke negeri-negeri Islam bukan hanya memburu golden (kekayaan) tapi juga mengajarkan gospel (Injil),” terangnya. Lebih dari itu para imperalis itu juga mengkotak-kotak wilayah-wilayah negara-negara Islam. Dan mereka berhasil.
“Di masa inilah banyak masjid dan rumah orang Islam di bakar. Indonesia juga mengalami teritorialisasi,” sambungnya. Padahal, sebelum itu, Muslim Indonesia, Malaysia, Mesir, Arab Saudi, Thailand, Singapura sehari-harinya mereka berbicara dengan bahasa yang sama ketika berada di Mesir. Tapi lantaran ulah adu domba bangsa-bangsa Eropa itu maka umat Islam terpecah belah. Kaum muslimin tak lagi menjadi “Global Islamic Community,” imbuhnya.
Adian sendiri dalam bukunya berpendapat, pada masa jaya-jayanya sekularisme dan liberalisme, Barat pun menghina dan melecehkan Islam. “Martin Luther menuduh Nabi Muhammad sebgai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan, Voltaire menganggapnya sebagai orang fanatik dan ektrimis,” ujarnya.
Selain, dua nama itu masih ada ratusan inteletual Barat yang mencela Al-Qur’an, Nabi Muhammad, Islam dan umat Islam itu sendiri. Sebut saja mislnya, Snouck Hurgronje, Rene Guenon, Eugene Stock, George F. Post dan lain-lainnya.
“Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum muslimin adalah suatu keharusan,” terang Adian yang juga mendapatkan master ilmu politik dari Universitas Jayabaya itu.
Karena itu pula tidak aneh jika George F. Post dalam acara Centenary Conference on the Protestant Missions of the Word menyatakan, “Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evaneglisme. Ini pertarungan hidup dan mati.”
Menurut Adian, dengan memahami Barat dengan baik maka akan mudah membantu kita dalam memahami problema yang muncul di kalangan kaum muslimin, yang memang disebabkan oleh invasi peradaban Barat dalam pemikiran dan peradaban Islam. (sdn/eramuslim)