Tak peduli deras hujan malam ini
Aku tetap mengayunkan kaki menuju rumahmu
Biar tubuh ini menggigil, toh nanti kau akan menghangatkanku
Sepanjang trotoar kuterus berkhayal
Terbayang setiap keindahan di dirimu
Binar matamu, lembut wajahmu, juga gerak nakal tanganmu
Gerai rambutmu, jenjang lehermu, juga merdu desahanmu
Kutersenyum lebar setibaku di pintu rumahmu
Namun senyumku menipis saat geram wajah ayahmu yang menyambut kedatanganku
Untunglah, martabak murah di ujung jalan sana bisa menjadi tiket untukku masuk ke rumahmu
Duh, tubuhku turut lemas saat menyaksikan kau terkapar lemah
Sungguh, aku tak pernah rela menatapmu seperti ini
Mengapa pula demam menyerangmu di malam ini?
Dan segala khayalku pudar…
Kuhanya dapat belai rambutmu, utarakan segala sayangku dengan sentuhan
Uh, rasanya ku ingin terus menemanimu
Tapi waktu kian larut, dan wajah ayahmu kian kecut
Aku harus pulang…
Rupanya martabak oleh-olehku telah habis…
Sepanjang jalan pulang kuterus mengkhawatirkanmu
Menyesali demam yang menyerangmu
Menyesali aku yang tak dapat terus menemanimu
Juga menyesali pudarnya segala khayalanku…
Lalu di dalam kamar mungil berdinding dekil ku tak dapat memejamkan mata
Kuterus menatap foto-fotomu yang manis bersandar di dinding
Dan dingin malam mulai memenuhi volume kamarku
Kurapatkan selimutku, lalu kembali pandangi foto-fotomu…
Tak terasa aku mulai teringat segala kenangan indah tentang kita
Segala keindahan di dalam rasa saat kita hanya berdua
Dan tanganku mulai menapaki tubuhku sendiri, inchi demi inchi…
Oh, kekasihku, aku terserang birahi…
Mengapa kau demam di malam ini?
Mengapa bukan malam kemarin atau besok?